Seiring otonomi daerah dan dihapusnya ujian negara, wajah pendidikan tinggi di Yogyakarta berubah. Awal tahun 2000 lalu, perguruan tinggi swasta menjamur. Sekarang, di puncak titik jenuh, beberapa PTS tinggal menanti saat terakhir. Mereka kekurangan mahasiswa.
Salah satunya Politeknik Pusat Pelatihan Keterampilan Profesional (PPKP) Yogyakarta. Saat ini, kampus yang berdaya tampung 6.000 mahasiswa itu tinggal menaungi 150 mahasiswa. Dua tahun terakhir, Politeknik PPKP tidak mendapat mahasiswa.
Politeknik yang semula di bawah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini sempat didatangi 15 pendafta, tetapi tak ada yang kembali untuk mendaftar ulang. Menurut Direktur Politeknik PPKP Kusman Abdi, jumlah mahasiswa menurun empat tahun terakhir.
Semula calon mahasiswa yang gagal seleksai di UNY diarahkan ke PPKP. Namun, konflik lahan antara PPKP dan UNY merenggangkan hubungan. Kondisi semakin sulit bagi PPKP, mengingat bertambahnya jumlah PTS, sehingga persaingan pun semakin ketat.
Merosotnya jumlah mahasiswa kampus yang berdiri tahun 1997 itu terjadi bertahap. Pada puncak kejayaan, PPKP bisa diserbu sekitar 3.000 calon mahasiswa. Untuk menampung mahasiswa, Kusman lantas mengembangkan bangunan dan menambah satu kampus bagu.
Total biaya pembangunanannya Rp. 6,44 miliar. Namun, belum setahun terpakai musibah terjadi. Jumlah peminat menurun pesat dari 2.000 orang pada 2004, menjadi 100 orang pada 2006, Masalah keuangan pun timbul. Jumlah pengajar yang dulu ada 600 orang, kini tinggal 15 orang.
Kampus juga mengurangi jumlah program studi (prodi) dari 28 prodi menjadi enam prodi. Promosi dan penyelamatan tetap tak menolong. Bahkan, pegawai yang tersisa tidak menerima gaji selama dua tahun terakhir. Namun, Kusma belum berniat menutup PTS tersebut.
Sangat Tajam
Kondisi serupa dialami Universitas Proklamasi (UP) ’45. Universitas yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1964 tersebut menargetkan perolehan mahasiswa baru 1.000 orang. Namun, hingga pekan lalu, hanya ada 95 orang yang mendaftar ulang.
Kalau berselancar ke internet, website UP’45 hanya mencantumkan informasi pendaftaran hingga tahun ajaran 2007 lalu, alias tak diperbarui. Kampus di Babarsari ini pernah coba merger dengan menghibahkan alih kelola ke Yayasan Respati, tetapi batal.
”Kemerosotan jumlah mahasiswa sangat tajam. Gelombang terakhir pendaftaran tak akan mendongkrak perolehan jumlah mahasiswa baru. Jumlah pendaftar tahun ini turun hingga 60 persen dibandung tahun lalu,” tutur Norita, petugas hubungan masyarakat UP’45.
Penurunan mahasiswa berimbas ke Universitas Widya Mataram. Kalau saat jaya tahun 1982-1987 lalu, mayoritas mahasiswanya dari kategori reguler (lulusan SMA/SMK), tetapi sesudahnya, mayoritas atau 60 persennya, justru mahasiswa nonreguler dari kalangan PNS dan karyawan swasta.
Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Yogyakarta Budi Santoso Wignyosukarto mengatakan PTS sering tidak mau meningkatkan kualitas sehingga gampang kolaps. Padahal, masyarakat sekarang sudah kritis memilih jurusan atau prodi.
”Kelatahan” untuk ramai-ramai mendirikan PTS dinilai pengamat pendidikan sekaligus Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Djohar MS karena terjadi pergeseran makna perguruan tinggi, dari sumber ilmu pengetahuan menjadi sumber penghidupan.
Perguruan tinggi, lanjur Djorhar, kini tak ubahnya peluang bisnis yang bisa mendatangkan banyak keuntungan dan membuka lapangan kerja. PTS yang terancam atau sudah tutup merupakan hasil dari proses seleksi alam yang melibatkan logika bisnis.
Hal itulah yang membuat banyak perguruan tinggi saat ini sangat mudah tumbang. ”Masyarakat akhirnya bisa menilai sendiri mana perguruan tinggi yang berorientasi keuntungan dan mana yang benar-benar serius mencetak peserta didik dengan basis ilmu,” kata Djohar.
Dan kini, nasib sejumlah PTS yang menuju kolaps ibarat cendawan di pengujung musim hujan. Mereka harus bisa bertahan atau tinggal menunggu waktu untuk gulung tikar. Kalau musim ”kemarau” tiba, cendawan menghilang. (WKM/IRE/ENG/PRA)
.: dikliping dari koran Kompas, 13 Agustus 2008 :.
Salah satunya Politeknik Pusat Pelatihan Keterampilan Profesional (PPKP) Yogyakarta. Saat ini, kampus yang berdaya tampung 6.000 mahasiswa itu tinggal menaungi 150 mahasiswa. Dua tahun terakhir, Politeknik PPKP tidak mendapat mahasiswa.
Politeknik yang semula di bawah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini sempat didatangi 15 pendafta, tetapi tak ada yang kembali untuk mendaftar ulang. Menurut Direktur Politeknik PPKP Kusman Abdi, jumlah mahasiswa menurun empat tahun terakhir.
Semula calon mahasiswa yang gagal seleksai di UNY diarahkan ke PPKP. Namun, konflik lahan antara PPKP dan UNY merenggangkan hubungan. Kondisi semakin sulit bagi PPKP, mengingat bertambahnya jumlah PTS, sehingga persaingan pun semakin ketat.
Merosotnya jumlah mahasiswa kampus yang berdiri tahun 1997 itu terjadi bertahap. Pada puncak kejayaan, PPKP bisa diserbu sekitar 3.000 calon mahasiswa. Untuk menampung mahasiswa, Kusman lantas mengembangkan bangunan dan menambah satu kampus bagu.
Total biaya pembangunanannya Rp. 6,44 miliar. Namun, belum setahun terpakai musibah terjadi. Jumlah peminat menurun pesat dari 2.000 orang pada 2004, menjadi 100 orang pada 2006, Masalah keuangan pun timbul. Jumlah pengajar yang dulu ada 600 orang, kini tinggal 15 orang.
Kampus juga mengurangi jumlah program studi (prodi) dari 28 prodi menjadi enam prodi. Promosi dan penyelamatan tetap tak menolong. Bahkan, pegawai yang tersisa tidak menerima gaji selama dua tahun terakhir. Namun, Kusma belum berniat menutup PTS tersebut.
Sangat Tajam
Kondisi serupa dialami Universitas Proklamasi (UP) ’45. Universitas yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1964 tersebut menargetkan perolehan mahasiswa baru 1.000 orang. Namun, hingga pekan lalu, hanya ada 95 orang yang mendaftar ulang.
Kalau berselancar ke internet, website UP’45 hanya mencantumkan informasi pendaftaran hingga tahun ajaran 2007 lalu, alias tak diperbarui. Kampus di Babarsari ini pernah coba merger dengan menghibahkan alih kelola ke Yayasan Respati, tetapi batal.
”Kemerosotan jumlah mahasiswa sangat tajam. Gelombang terakhir pendaftaran tak akan mendongkrak perolehan jumlah mahasiswa baru. Jumlah pendaftar tahun ini turun hingga 60 persen dibandung tahun lalu,” tutur Norita, petugas hubungan masyarakat UP’45.
Penurunan mahasiswa berimbas ke Universitas Widya Mataram. Kalau saat jaya tahun 1982-1987 lalu, mayoritas mahasiswanya dari kategori reguler (lulusan SMA/SMK), tetapi sesudahnya, mayoritas atau 60 persennya, justru mahasiswa nonreguler dari kalangan PNS dan karyawan swasta.
Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Yogyakarta Budi Santoso Wignyosukarto mengatakan PTS sering tidak mau meningkatkan kualitas sehingga gampang kolaps. Padahal, masyarakat sekarang sudah kritis memilih jurusan atau prodi.
”Kelatahan” untuk ramai-ramai mendirikan PTS dinilai pengamat pendidikan sekaligus Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Djohar MS karena terjadi pergeseran makna perguruan tinggi, dari sumber ilmu pengetahuan menjadi sumber penghidupan.
Perguruan tinggi, lanjur Djorhar, kini tak ubahnya peluang bisnis yang bisa mendatangkan banyak keuntungan dan membuka lapangan kerja. PTS yang terancam atau sudah tutup merupakan hasil dari proses seleksi alam yang melibatkan logika bisnis.
Hal itulah yang membuat banyak perguruan tinggi saat ini sangat mudah tumbang. ”Masyarakat akhirnya bisa menilai sendiri mana perguruan tinggi yang berorientasi keuntungan dan mana yang benar-benar serius mencetak peserta didik dengan basis ilmu,” kata Djohar.
Dan kini, nasib sejumlah PTS yang menuju kolaps ibarat cendawan di pengujung musim hujan. Mereka harus bisa bertahan atau tinggal menunggu waktu untuk gulung tikar. Kalau musim ”kemarau” tiba, cendawan menghilang. (WKM/IRE/ENG/PRA)
.: dikliping dari koran Kompas, 13 Agustus 2008 :.