Minggu, 21 Desember 2008

Ibarat Cendawan di Musim Hujan

Seiring otonomi daerah dan dihapusnya ujian negara, wajah pendidikan tinggi di Yogyakarta berubah. Awal tahun 2000 lalu, perguruan tinggi swasta menjamur. Sekarang, di puncak titik jenuh, beberapa PTS tinggal menanti saat terakhir. Mereka kekurangan mahasiswa.

Salah satunya Politeknik Pusat Pelatihan Keterampilan Profesional (PPKP) Yogyakarta. Saat ini, kampus yang berdaya tampung 6.000 mahasiswa itu tinggal menaungi 150 mahasiswa. Dua tahun terakhir, Politeknik PPKP tidak mendapat mahasiswa.

Politeknik yang semula di bawah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini sempat didatangi 15 pendafta, tetapi tak ada yang kembali untuk mendaftar ulang. Menurut Direktur Politeknik PPKP Kusman Abdi, jumlah mahasiswa menurun empat tahun terakhir.

Semula calon mahasiswa yang gagal seleksai di UNY diarahkan ke PPKP. Namun, konflik lahan antara PPKP dan UNY merenggangkan hubungan. Kondisi semakin sulit bagi PPKP, mengingat bertambahnya jumlah PTS, sehingga persaingan pun semakin ketat.

Merosotnya jumlah mahasiswa kampus yang berdiri tahun 1997 itu terjadi bertahap. Pada puncak kejayaan, PPKP bisa diserbu sekitar 3.000 calon mahasiswa. Untuk menampung mahasiswa, Kusman lantas mengembangkan bangunan dan menambah satu kampus bagu.

Total biaya pembangunanannya Rp. 6,44 miliar. Namun, belum setahun terpakai musibah terjadi. Jumlah peminat menurun pesat dari 2.000 orang pada 2004, menjadi 100 orang pada 2006, Masalah keuangan pun timbul. Jumlah pengajar yang dulu ada 600 orang, kini tinggal 15 orang.

Kampus juga mengurangi jumlah program studi (prodi) dari 28 prodi menjadi enam prodi. Promosi dan penyelamatan tetap tak menolong. Bahkan, pegawai yang tersisa tidak menerima gaji selama dua tahun terakhir. Namun, Kusma belum berniat menutup PTS tersebut.

Sangat Tajam
Kondisi serupa dialami Universitas Proklamasi (UP) ’45. Universitas yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1964 tersebut menargetkan perolehan mahasiswa baru 1.000 orang. Namun, hingga pekan lalu, hanya ada 95 orang yang mendaftar ulang.

Kalau berselancar ke internet, website UP’45 hanya mencantumkan informasi pendaftaran hingga tahun ajaran 2007 lalu, alias tak diperbarui. Kampus di Babarsari ini pernah coba merger dengan menghibahkan alih kelola ke Yayasan Respati, tetapi batal.

”Kemerosotan jumlah mahasiswa sangat tajam. Gelombang terakhir pendaftaran tak akan mendongkrak perolehan jumlah mahasiswa baru. Jumlah pendaftar tahun ini turun hingga 60 persen dibandung tahun lalu,” tutur Norita, petugas hubungan masyarakat UP’45.

Penurunan mahasiswa berimbas ke Universitas Widya Mataram. Kalau saat jaya tahun 1982-1987 lalu, mayoritas mahasiswanya dari kategori reguler (lulusan SMA/SMK), tetapi sesudahnya, mayoritas atau 60 persennya, justru mahasiswa nonreguler dari kalangan PNS dan karyawan swasta.

Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Yogyakarta Budi Santoso Wignyosukarto mengatakan PTS sering tidak mau meningkatkan kualitas sehingga gampang kolaps. Padahal, masyarakat sekarang sudah kritis memilih jurusan atau prodi.

”Kelatahan” untuk ramai-ramai mendirikan PTS dinilai pengamat pendidikan sekaligus Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Djohar MS karena terjadi pergeseran makna perguruan tinggi, dari sumber ilmu pengetahuan menjadi sumber penghidupan.

Perguruan tinggi, lanjur Djorhar, kini tak ubahnya peluang bisnis yang bisa mendatangkan banyak keuntungan dan membuka lapangan kerja. PTS yang terancam atau sudah tutup merupakan hasil dari proses seleksi alam yang melibatkan logika bisnis.

Hal itulah yang membuat banyak perguruan tinggi saat ini sangat mudah tumbang. ”Masyarakat akhirnya bisa menilai sendiri mana perguruan tinggi yang berorientasi keuntungan dan mana yang benar-benar serius mencetak peserta didik dengan basis ilmu,” kata Djohar.

Dan kini, nasib sejumlah PTS yang menuju kolaps ibarat cendawan di pengujung musim hujan. Mereka harus bisa bertahan atau tinggal menunggu waktu untuk gulung tikar. Kalau musim ”kemarau” tiba, cendawan menghilang. (WKM/IRE/ENG/PRA)

.: dikliping dari koran Kompas, 13 Agustus 2008 :.

Lulusan PTN dan PTS Mampu Menjawab Kebutuhan Kerja

Yogyakarta, Kompas

Meskipun kondisinya banyak diwarnai kemerosotan, baik jumlah mahasiswa maupun kualitasnya, tetapi keberadaan perguruan tinggi swasta di Yogyakarta tetap memiliki kualitas di tingkat nasional. Lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta cenderung mampu menjawab kebutuhan dunia kerja. Biasanya, mereka hanya membutuhkan sentuhan pelatihan singkat selama satu hingga dua bulan sebelum bisa beradaptasi ke dunia kerja.

”Mereka juga cukup berkualitas dan mudah beradaptasi. Pelatihan sebelum masuk kerja ditujukan agar mereka tidak kaget,” ujar Ketua Bidang Investasi dan Permodalan Himpunan Pengusaha Muda (Hipmi) Yogyakarta Muh Syarif Hidayatullah, Selasa (12/8).

Apa yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah, menurut Muh Syarif, sering berbeda dengan kondisis riil di lapangan dunia kerja. Karena itu, perlu pelatihan ketika masuk wilayah kerja. Sejauh ini, pengusaha di Yogyakarta biasanya tidak membeda-bedakan, baik lulusan PTS maupun PTN. Yang terpenting mereka lolos tes.

Benny Cristiady, Human Resourses Development and General Affair Manager PT Aseli Dagadu Djogdja, mengatakan lulusans perguruan tinggi di Yogyakarta cukup bisa menjawab kebutuhan perusahaannya. Sampai sekarang Dagadu merekrut karyawan secara lokal.

Artinya, peluang kerja di Dagadu hanya disebar di DIY. Karena itu, kebanyakan pelamar adalah lulusan PT setempat. Sebenarnya, lulusan PT mana pun bisa mendaftar, tetapi kebetulan yang lolos tes mayoritas lulusan PT terkemuka di Yogyakarta.

Kualitas
Ketua Forum Rektor Indonesia yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid menegaskan, anggapan bahwa kualitas lulusan PTS nomor dua setelah PTN tidak benar sepenuhnya. Sebab, semuanya tergantung skill dan etos kerja mahasiswa.

”Lulusan dari UII, misalnya, paling lama enam bulan sejak diwisuda sudah mendapat pekerjaan pertamanya. Setiap lulusan juga kami pantau ke mana mereka bekerja,” tutur Edy.

Masih adanya anggapan bahwa kemampuan akademik mahasiswa PTN lebih bagus ketimbang PTS, serta mahasiswa asal Jawa lebih bagus ketimbang luar Jawa, diakui Muhammad Hasrudin, mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta, angkatan 2003.

”Anggapan tersebut bisa membuat mahasiswa asal luar Jawa dan kebetulan kuliah di PTS kurang terkenal, minder duluan. Namun, saya percaya bahwa yang terpenting dalam dunia kerja nanti adalah kemampuan dan kemauan pribadi mahasiswa,” ucap Muhammad Hasrudin.

Gaung PTS dan PTN di Yogyakarta masih terasa di luar Jawa, tetapi makin berkurang akibat PTS dan PTN lain di luar Jawa sudah berbenah. Untuk itu, seperti kata Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Ambrosius Koesmargono, perlu ruang publik bernuansa pendidikan untuk menegaskan nuansa pendidikan di Yogyakarta. [ENG/WKM/RWN/ARA/PRA]

.: dikliping dari koran Kompas, 13 Agustus 2008 :.

25 Guru SD di Palembang Mogok Mengajar

Palembang, Kompas

Sebanyak 25 guru SD Harapan Mulia, Palembang, Sumatera Selatan, mogok mengajar, Selasa (12/8). Mereka menuntut peningkatan kesejahteraan melalui pemberian gaji bulanan yang setara dengan upah minimun regional di Sumsel.

Salah satu guru SD Harapan Mulia yang enggan disebut namanya mengatakan, selama ini pihak sekolah dan yayasan belum maksimal dalam memerhatikan kesejahteraan guru. Gaji sejumlah guru SD Harapan Mulia masih di bawah upah minimun regional (UMR). ”Padahal, di Kota Palembang, sekolah ini tergolong elite dan fevorit. Kami menuntut perbaikan gaji guru, tetapi tidak direspons. Makanya, kami mogok saja,” katanya.

Selama ini rata-rata gaji guru yang mogok mengajar itu Rp. 600.000 per bulan. Kemarin mereka menuntut kenaikan gaji lebih dari Rp. 700.000 per bulan. UMR saat ini adalah Rp. 743.000.

Pantauan Kompas, aktivitas belajar mengajar di SD tersebut agak terganggu akibat pemogokan itu. Kompleks sekolah dijaga ketat oleh petugas satuan pengamanan (satpam) sehingga orang luar tidak bisa masuk tanpa izin.

Di tengah mogok mengajar tersebut, terjadi tindakan yang kurang menyenangkan dari Kepala SD Harapan Mulia, Syafruddin, dan petugas satpam terhadap wartawan harian Sriwijaya Post, Dewi. Ia diminta ke luar kompleks sekolah secara kasar.

Hal ini langsung dilaporkan sejumlah wartawan ke Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang, Aidin.

Menanggapi laporan itu, Aidin, yang kantornya bersebelahan dengan SD Harapan Mulia, segera memanggil Syafruddin. Namun, tidak ada putusan berarti dari Aidin. ”Saya bisa memakluminya. Mungkin karena keduanya sama-sama panik,” kata Aidin kepada pers. [Oni]

.: dkliping dari koran Kompas, 13 Agustus 2008 :.